Siapa Pelanjut Ulama Besar Minangkabau??
BANYAK orang di
Sumatera Barat (Sumbar) merisaukan akan munculnya ulama besar seperti
pernah dimiliki daerah ini tempo doeloe. Mereka punya kharismatik dan
wibawa. Masa itu belum ada fasilitas mobil atau honor “jualan”
dakwah. Tidak punya target jadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang dapat
gaji setiap bulan. Kerisauan itu mengandung pesimis.
Ulama-ulama besar tadi nyaris tidak meraih ilmu dalam kuliah pendidikan formal, tapi kebanyakan menimba dari Syekh Ahmad Khatib al Minangkabauwy di Makkah al Mukarramah. Syekh Ahmad Khatib sudah lama bermukim di Tanah Suci. Di Mesir, gelar Syekh, setara dengan doktor kehomatan (honoris causa). Sebagian besar sumber hidup mereka dari hasil pertanian sendiri. Ada sedekah umat tapi tidak tergantung dengan itu.
Di antara ulama besar Sumbar pada zamannya, menurut buku karya Drs. Edward terbitan Islamic Centre Sumatera Barat tahun 1981, antara lain; Syekh Ahmad Khatib (1852-1915)
Berasal Balai Gurah IV Angkat (Agam), sedang bapaknya Khatib Nagari asal Koto Gadang Bukittinggi. Beliau guru dari ulama-ulama besar Minangkabau seperti Karim Amarullah, Abdullah Ahmad dan KH Ahmad Dahlan, pendiri Perserikatan Muhammadiyah asal Yogyakarta.
Beliau menonjol dalam ilmu hukum agama disamping ilmu-ilmu lainnya. Ahmad Khatib pernah jadi Imam di Masjidil Haram, sampai meninggal di sana.
Syekh Abdurahman (1777-1899)
Kelahiran Batuhampar, Payakumbuh seorang ulama yang berhasil mengembangkan agama tidak saja di Sumbar, tapi sampai ke Jambi, Palembang, dan Bengkulu. Di antara seorang cucunya Mohammad Hatta, proklamator kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Abdurrahman pernah mukim di Tanah Suci tujuh tahun menuntut ilmu agama. Waktu kembali ke Sumbar, beliau berhasil memusnahkan secara drastis khurafat dan tahayul yang jadi prilaku pemimpin adat memberi tahu masyarakat mana yang halal, mana yang haram, larangan berjudi dan menyabung ayam.
Syekh Khatib Mohammad Ali (1861-1936)
Berasal dari Muarolabuh, Solok Selatan, lama menetap di Parakgadang dan Palinggam (Padang). Berdakwah, menegakkan syiar Islam. Beliau disegani dan dihormati, disiplin terhadap peraturan, tidak goyah dengan prinsip. Ulama pendekar silat ini, pernah tujuh tahun memperdalam ilmu agama dengan guru besar Syekh Ahmad Khatib di Makkah, kemudian di Madinah. Beliau penyayang dan pemurah, membantu orang yang butuh pertolongan.
Syekh Mohammad Djamil Djambek (1862-1947)
Lahir di Bukittinggi. Ibu beliau berdarah campuran Betawi-Minangkabau. Ayahnya Mohammad Saleh Datuk Maleko. Djamil pernah menuntut ilmu sihir dan jadi “pareman”, hidup tanpa memperhatikan norma-norma sosial. Pada suatu hari dia kesasar ke surau Angku Kayo di Mandiangin. Angku Kayo memberi kesadaran padanya, sehingga tertarik mengaji ilmu agama dan kehidupan sosial, serta-merta menghentikan kebiasaan mencuri, dan merampok. Beliau ahli falaq terkenal. Walau pernah (tahun 1926) menerima anugerah bintang dari Belanda karena berhasil membungkam pengacau kaum komunis, beliau bergeming dibujuk.
Syekh Abbas Qadh (1285-1370)
Beliau bernama kecil Abbas bin Wahab. Lahir di Ladanglaweh, kaki Gunung Merapi, 4 km Bukittinggi. Guru mengajinya Syekh Angku Mudo di kampung itu dengan sistem duduk (halaqah). Beberapa lama kemudian, Abbas melanjutkan pendidikan ke Makkah.
Beliau pernah jadi Mufti di Bangkok (Thailand) dan disitu pulalah beliau meninggal. Masa hayatnya jadi pembaharu di negeri ini. Model pembaharuannya adalah sekolah dengan sistem bangku pelajaran, tidak dengan sistem halaqah lagi. Beliau marah jika muridnya terlambat masuk kelas. Beliaulah yang mendirikan Perguruan Tarbiyah Islamiyah (Perti), kemudian dikokohkan jadi partai politik oleh puteranya Sirajuddin Abbas. Keluarganya hartawan, sehingga biaya hidup tidak tergantung pada orang lain.
Syekh Sulaiman Ar-Rasuly (1871-1970)
Beliau populer dengan panggilan Inyiak Canduang. Namanya melekat pada nama negeri kelahirannya di Ampekangkek, Kabupaten Agam. Desa di kaki Gunung Merapi ini sekitar 8 km Timur Bukittinggi. Disinilah beliau mendirikan pesantren Tarbiyah Islamiyah yang kemudian tersohor.
Waktu menunaikan ibadah haji di Tanah Suci tahun 1903, dimanfaatkannya mendalami ilmu pada Syekh Ahmad Khatib. Sepulang di tanah air, langkah pertamanya mengadakan perubahan sistem pengajaran agama, dari sistem halaqah ke sistem kelas. Sistem ini kemudian menyeragam di madrasah semua kampung.
Syekh Thaib Umar (1874-1920)
Lahir 08 Syawal 1291 di Sungayang, Batusangkar, ulama pertama berkhotbah Jumat menggunakan bahasa Indonesia. Bersama dengan Syekh Karim Amerullah dan Abdullah Ahmad, berjuang memberantas bid’ah dan khurafat
Akibat diskriminasi bidang pendidikan pemerintah jajahan Belanda, beliau tidak bisa masuk sekolah yang mengajarkan huruf latin, walau sudah menamatkan baca Quran. Ayahnya Umar bin Abdul Kadir membawanya ke Tanah Suci. Disana belajar ilmu agama dan bahasa Arab dengan Syekh Ahmad Khatib. Sepulangnya ke tanah air dalam usia 23 tahun membangun surau sendiri di Tanjung Pauh, Sungayang. Di antara muridnya terdapat ahli pendidikan Islam Prof Mahmud Yunus.
Beliau bercimpung pula di dunia jurnalistik. Sering menulis dalam majalah Al Munir Padang, majalah Islam pertama di Minangkabau terbit tahun 1911. Beliau anggota redaksi bersama Dr Abdul Karim Amerullah. Kepada surau-surau lain dianjurkannya, disamping ilmu pengetahuan agama, juga mempelajari ilmu pengetahuan umum, ashriyah, atau ilmu pengetahuan modern. Beliau mengkritik “urang siak” yang meminta-minta beras ke kampung-kampung. Tahun 1918 dipeloporinya khotbah Jumat, dan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha menggunakan bahasa Indonesia, kecuali rukun khotbah yang harus berbahasa Arab.
Syekh Mohammad Jamil Jao
Lahir tahun 1878, di Jao, sekitar 3 km selatan Kota Padangpanjang. Putera Tuanku Kadhi Tambangan ini, akrab dengan Syekh Sulaiman ar Rasuly, Karim Amarullah, Jamil Jambek, dan Ibrahim Musa Parabek. Beliau 10 tahun menutut ilmu di Makkah. Ulama ahli hukum Islam itu, tahun 1918 pulang dan bersama Sulaimen ar Rasuly mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Pernah jadi Ketua Persatuan Ulama Minangkabau Ittihadl Ulama. Beliau cakap berpidato adat (pasambahan). Beliau pendekar silat bela diri. Di antara puteranya tiga orang jadi wartawan, yakni Bachtiar Jamily (almarhum), Husni, dan Zubaidah.
Syekh Abdullah Ahmad (1878-1953)
Lahir di Padangpanjang, meninggal dalam usia 50 tahun. Dikenal pula sebagai Bapak Jurnalistik Indonesia. Nama beliau tetap abadi sebagaimana halnya dengan warisannya perguruan Adabiah. Beliau melanjutkan cita-cita pamannya Syekh Gapuak, membangun masjid Gantiang, yakni rumah Allah tertua di Padang, dengan bantuan dana para saudagar.
Tokoh pembaharuan dan mantan murid Syehk Ahmad Khatib ini, bersama Abdul Karim Amarullah beroleh gelar kehormatan doktor dari Univewrsitas Al Azhar Kairo, Mesir. Beliau berhasil memberantas khurafat, bid’ah, mistik yang menyusup dalam ajaran Islam. Semuanya bukan didakwahkannya melalui lisan di masjid atau mushalla, tapi juga memanfaatkan pers (suratkabar al Munir terbitan Padangpanjang).
Syekh Abdul Karim Amarullah (1879-1945)
Lahir di Sungai Batang Maninjau. Semula bernama Mohammad Rasul. Nama tersebut ditukar setelah menunaikan ibadah haji tahun 1894. Di Makah selama tujuh tahun, menimba ilmu pada Syehk Ahmad Khatib. Beliau orangtua Buya Hamka, dan mertua mantan Ketua Pucuk Pimpinan Muhammadiyah Abdul Rasjid Sutan Mansyur. Berani membuang hal-hal yang bertentangan dengan Al Quran dan sunnah. Bersama Syekh Abdullah Ahmad memperoleh gelar doktor honoris kausa dari Universitas Al Azhar, Kairo.
Ketika aliran Ahmadiyah dari India masuk Minangkabau, beliau menerbitkan buku Al Qaulul shahih (kata yang sesat) untuk menyerang faham tersebut, mencegah perkembangannya di daerah ini. Sebaliknya membawa Muhammadiyah dari Jawa. Tahun 1930 beliau semarakkan kongres perserikatan ini di Bukittinggi. Beliau tak setapak pun kompromi dengan Pemerintah Belanda. Bila sudah ada di mimbar, sekali-kali jangan disensor pidatonya.
Terang-terangan pula menantang pemerintah Fasis Militer Jepang yang menduduki Indonesia tahun 1942-1945 untuk melakukan sei keire, yakni menundukkan kepala ke arah matahari terbit (Tokyo) tanda memberi hormat kepada Kaisar Hirohito tempat tahta raja Jepang itu.
“Biar saya digantung tinggi-tinggi atau dibuang jauih-jauih, saya tidak mau melakukan,” kata Karim Amarullah tegas.
Syekh Daud Rasyidi (1880-1948)
Lahir di Balingka, Kecamatan IV Koto Agam. Beliau orangtua kandung Mansyur Daud Datuk Palimo Kayo, yang dikatakan sebagai pemegang tongkat estafet terakhir ulama-ulama besar Minangkabau. Inyiak Daud tak ada menempuh pendidikan formal di sekolah mulai tingkat dasar sampai menengah. Pernah jalan kaki dari kampungnya ke Kota Padang, dibekali ketrampilan menjahit, mengaji di beberapa surau Sumatera Barat. Akhirnya pada Syekh Ahmad Khatib di Mekah selama empat tahun, untuk ilmu tasauf, fiqih, tauhid dan bahasa Arab.
Tahun 1903 membuka pengajian di masjid Jembatan Besi Padangpanjang. Masjid ini kemudian menjelma jadi Sumatera Thawalib. Waktu itu penyakit kolera dan cacar mewabah disini. Puluhan korban meninggal setiap hari. Dikubur begitu saja, tanpa dimandikan, dikafani dan disembahyangkan. Kata beliau,
“Umat Islam akan menerima dosa karena tidak melaksanakan fardhu kifayah”. Dengan berani beliau menyuruh bongkar kembali kuburan mayat-mayat tadi. Namun, ditantang Asisten Residen Padangpanjang sebagai penguasa. Tapi akhirnya tuntutan Syekh Daud dikabulkan. Sebelum dikubur kembali, semua diproses menurut ajaran Islam. Beliau menantang membayar pajak (belasting) kepada Pemerintah Belanda.
Syekh Ibrahim Musa (1882-1963)
Lahir 12 Syawal 1301. Setelah menjadi ulama besar, nama kampungnya melekat pada beliau, dan tersohorlah sebagai Inyiak Parabek. Beliau sebelumnya mengaji di beberapa surau di Sumatera Barat, tahun 1320 Hijriah menyambung ke Makkah belajar selama 6,5 tahun pada Syekh Ahmad Kathib. Belum puas, tahun 1333 kembali lagi kesitu untuk memperdalam ilmu.
Waktu perang dunia pertama pecah, beliau kembali ke Parabek Bukittinggi dan singgah lebih dulu di India. Di Parabek bersama dengan murid-murinya membentuk persatuan pelajar Muzakaratul Ikhwan, wadah untuk memperdebatkan berbagai masalah.
Wadah ini kemudian menjelma jadi Sumatera Thawalib School. Pesantren termasyhur ke seantero nusantara. Sistem belajar dari halaqah menjadi sistem klasikal, berkelas-kelas. Disamping ilmu pengetahuan agama, diajarkan pula bahasa Inggris dan bahasa Belanda, ilmu ukur, aljabar, kopersi dan lain-lain. Para guru tidak pakai sarung, disuruh pakai pantalon. jas, dasi dan sepatu. Pemerintah Belanda menawarkan sejumlah uang subsidi, namun Inyiak Parabek menolak mentah-mentah.
Syekh Abbas Abdullah (1883-1957)
Dilahirkan, dibesarkan dan mengabdi di negeri sendiri, Padangjapang (Suliki), Payakumbuh. Nama negeri tersebut melekat pada kepopuleran nama beliau Inyiak Abbas Padang Japang. Ayah beliau Syekh Abdullah pernah terlibat dalam Perang Paderi pimpinan Tuanku Imam Bonjol. Ketika Abbas berusia 13 tahun, ikut paman ke Tanah Suci. Usai menunaikan ibadah haji, Abbas tidak mau pulang, minta tinggal sendirian, lalu belajar dengan Syekh Ahmad Khatib selama delapan tahun. Tahun 1924, sebelum pulang ke tanah air, mengembara ke Mesir, Palestina, Libanon, Siria dan Swis di Eropa. Pulang mengangkut buku-buku besar. Di kampung ditugaskan ayahnya jadi guru bantu Ibtidaiyah dan Tsanawiyah.
Haji Agus Salim (1884-1964)
Lahir 8 Oktober 1884 di Kotogadang, Kecamatan IV Koto, Bukittinggi. Dengan nama yang diberikan ayahnya Masyhudul Haq. Negeri ini penuh melahirkan kaum intelektual. Selain H Agus Salim, banyak lagi pemimpin bangsa asal negeri ini, seperti Perdana Menteri Pertama RI Sutan Sjahrir, Emil Salim, dan lain-lain. Orangtua Inyiak Agus, Sutan Mohammad Salim, seorang Jaksa.
Beliau ulama jenius. Mahasiswa Cornell Uniuversity (Amerika) Harry J Benda waktu beliau memberi kuliah disana langsung mengggelari Grand Old Man, bisa diterjemahkan sebagai Orang Tua Cemerlang. Delapan anak beliau tidak pernah masuk sekolah formal, tapi diajar sendiri di rumah. Seorang di antaranya Kolonel Islam Salim, pernah jadi atase militer Indonesia di Cina.
Mula masuk sekolah di Europesche Lager School (ELS) Kotogadang dan tamat tahun 1898. Terus menyambung ke Hoogere Burger School (HBS) di Jakarta, tapi gagal meneruskan ke STOVIA (School tot Opleiding van Inlandshe). Kegagalan masuk sekolah pamong ini menimbulkan kebenciannya terhadap Pemerintah Belanda. Dendamnya bekerjasama dengan Belanda beliau nyatakan: “Biar makan krekel dari pada menerima tawaran bekerkja dengan Belanda.”
Tapi pada satu kali ibunya memaksa bekerja di konsulat Belanda di Saudi Arabia, maka kesempatan itu dimanfaatkan mendalami agama pada sepupunya Syekh Ahmad Khatib, yang lebih dulu menetap di Masjidil Haram.
Awal kemerdekaan RI beliau memimpin misi ke beberapa negara Timur Tengah. Hasilnya RI memperoleh pengakuan de jure dari negara-negara tersebut. Beliau pernah beberapa kali jadi Menteri Luar Negeri.
Syekh Zainuddin Labay el Yunusy (1890-1924)
Lahir di Lubuk Mata Kucing, Padang panjang, 12 Rajab 1308. Labai, panggilan terhormat bagi seorang yang alim, sedang Yunusy, nama orangtuanya Yunus. dikenal sebagai Tuanku Pandai Sikek, desa asal beliau di kaki gunung Singgalang. Beliau anak sulung pasangan Yunus dan Rafi’ah, sedang adik kedua Rahmah yang kemudian populer dengan nama Sitti Rahmah el Yunusiyah, pendiri sekolah Diniyah Puteri Padangpanjang. Zainuddin mendirikan sekolah Diniyah School tahun 1916 ketika berusia 26 tahun.
Nama sekolahnya kombinasi bahasa Arab dan Belanda, untuk memberi gambaran ide pembaharuan Sistem pendidikannya, gandrung modern. Beliau pun merevolusikan sistem halaqah ke sistem klasikal. Guru tidak pakai sarung lagi. berkopiah tarbusy, dan sandal, tapi pakai pantalon, jas, dasi, dan bersepatu. Beliau pun menolak tawaran uang subsidi Pemerintah Belanda.
Syehk Abdul Hamid Hakim (1893-1959)
Beliau kemudian populer dengan nama Angku Mudo Hamid. Lahir di Sumpu, tepi danau Singkarak tahun 1311 H atau 1893 M. Ikut ayah seorang pedagang ke Kota Padang. Disini ia masuk Sekolah Dasar (SD) dan setamatnya kembali ke kampung belajar tulis-baca Al Quran, lalu melanjutkan dua tahun di Sungayang belajar pada Syekh Mohammad Thaib Umar.
Ketika berusia 16 tahun, belajar ke Maninjau pada Syekh Karim Amarullah. Ketika itu tahun 1910, dengan Syekh Amarullah juga, pindah ke Padang, dimana orangtuanya berdagang di kota ini. Waktu Amarullah pindah lagi ke Padangpanjang, Hamid tetap ikut. Diangkat jadi guru bantu di masjid Jembatan Besi. Sejak itulah beliau dipanggil sebagai Angku Mudo. Ahli fiqih (hukum Islam) ini kemudian diangkat jadi Guru Kepala, mengganti Syekh Abdul Karim Amarullah karena doktor ini pindah ke Jakarta.
Pernah seorang reserse bertanya kepada beliau: “Kenapa murid aktif dalam dunia politik? Entahlah, saya juga heran. Satu saya ajarkan, empat mereka dapat. Saya tak pernah menyuruh mereka aktif dalam politik,” jawab Angku Mudo.
Murid beliau antara lain; Sutan Mansyur, mantan Ketua Pucuk Pimpinan Muhammadiyah, Zainal Abidin Ahmad mantan Wakil Ketua Parlemen, Buya Datuk Palimo Kayo, ulama/sastrawan besar Hamka, Muchtar Yahya, guru besar IAIN Yogya, Ali Hasymi mantan Gubernur Aceh, dan tokoh politik singa betina Rasuna Said.
Syeikhah Rahmah el Yunusyiah (1900-1969)
Lahir 26 Oktober 1900. Beliau adalah adik kandung Zainuddin Labay el Yunusy. Tahun 1915 mendirikan lembaga pendidikan khusus puteri Diniyah Putri. Kiprahnya dalam dunia pendidikan Islam seperti ikut jejak kakaknya. Murid-muridnya datang dari seantero Sumatera Barat. Juga dari provinsi lain, bahkan dari luar negeri, seperti Malaysia, Brunai Darussalam dan Singapura.
Beliau tidak menutup pintu untuk ilmu pengetahuan modern. Disini tidak hanya diajarkan pengetahuan agama, juga keterampilan jahit-menjahit dan masak-memasak, sehingga kelak mereka jadi ibu rumah tangga Islami. Tahun 1955 Rektor Universitas Al Azhar Kairo, pernah mengunjungi Diniyah Puteri. Kunjungan ini dapat balasan. Tahun 1956, Rahmah diundang ke Mesir.
Syekh Zainuddin Hamidy (1907-1957)
Setelah tamat sekolah Governement (Sekolah Dasar lima tahun) di Payakumbuh, melanjutkan pendidikan di Madrasah Darul Funuin Padangjapang, Suliki. Beliau murid terpandai di madrasah tersebut. Tahun 1927 lebih kurang lima tahun melanjutkan ke Mahad Islamy Makkah. Beliau siswa Indonesia pertama disini. Karena pintar, beroleh pula beasiswa.
Tahun 1932, Zainuddin pulang kampung ke Payakumbuh. Dalam usia 25 tahun dikenal sebagai ulama yang menguasai berbagai ilmu. Hafal Al Quran (hafizh), ahli hadist, tafsir, tauhid dan fiqih, sehingga beliau dapat julukan Angku Mudo. Beliau membuka perguruan Mahad Islamy, nama kenangan tempat beliau belajar di Makkah dulu.
Mahad Islamy berkembang dengan pesat. Selain siswanya datang dari berbagai negeri di Sumbar, juga banyak dari Malaysia, dan Riau. Masyarakat ringan memberi bantuan wakaf dan beberapa orang sebagai donatur. Namun, sebaliknya datang hambatan pihak pemerintah jajahan. Cemburu karena sukses. Ada di antara gurunya Johar Arifin dikenakan tidak boleh mengajar. Bila menghadapi masalah yang amat sulit, pendapat Zainuddin Hamidy jadi qaulun fashlun (kata pemutus).
Syekh Nazaruddin Thaha (1908-1979)
Lahir 4 Maret 1908 di Payakumbuh, putera tertua Syekh Thaha Arsyad. Setelah tamat Sekolah Dasar Sambungan, melanjutkan ke Madrasah Sumatra Thawalib Darul Funun Padangjapang. Tahun 1926 masuk perguruan tinggi Darul Ulum dan Universitas al Azhari Kairo, seangkatan Mahmud Yunus, Muchtar Yahya dan lain-lain.
Selama lebih kurang tujuh tahun di Mesir, beliau aktif di Persatuan Pelajar Indonesia-Malaysia (Perpidom), organisasi pergerakan untuk merebut kemerdekaan tanah air. Pulangnya sebagian besar putera-putera Minang tahun 1930-an, membawa angin segar dunia pendidikan di daerah ini.
Tahun 1946, Nazaruddin Thaha ditunjuk pertama kali mengepalai Kantor Agama Sumatera Tengah, meliputi daerah kerja Sumbar, Jambi dan Riau. Beliau membentuk Kantor Urusan Agama (KUA) di daerah-daerah. Pada waktu itu pulalah pengarang buku-buku agama dalam bahasa Arab ini, merancang Undang-undang Perkawinan. Buku-buku tersebut antara lain Abthalul Islam, al Mahfuzadzat, Fanuttarbiyah, dan lain-lain.
Oleh: Marthias Dusky Pandoe
sumber:http://www.facebook.com/?ref=logo#!/notes/minangkabau/risau-siapa-pelanjut-ulama-besar-minangkabau/485735274591
Ulama-ulama besar tadi nyaris tidak meraih ilmu dalam kuliah pendidikan formal, tapi kebanyakan menimba dari Syekh Ahmad Khatib al Minangkabauwy di Makkah al Mukarramah. Syekh Ahmad Khatib sudah lama bermukim di Tanah Suci. Di Mesir, gelar Syekh, setara dengan doktor kehomatan (honoris causa). Sebagian besar sumber hidup mereka dari hasil pertanian sendiri. Ada sedekah umat tapi tidak tergantung dengan itu.
Di antara ulama besar Sumbar pada zamannya, menurut buku karya Drs. Edward terbitan Islamic Centre Sumatera Barat tahun 1981, antara lain; Syekh Ahmad Khatib (1852-1915)
Berasal Balai Gurah IV Angkat (Agam), sedang bapaknya Khatib Nagari asal Koto Gadang Bukittinggi. Beliau guru dari ulama-ulama besar Minangkabau seperti Karim Amarullah, Abdullah Ahmad dan KH Ahmad Dahlan, pendiri Perserikatan Muhammadiyah asal Yogyakarta.
Beliau menonjol dalam ilmu hukum agama disamping ilmu-ilmu lainnya. Ahmad Khatib pernah jadi Imam di Masjidil Haram, sampai meninggal di sana.
Syekh Abdurahman (1777-1899)
Kelahiran Batuhampar, Payakumbuh seorang ulama yang berhasil mengembangkan agama tidak saja di Sumbar, tapi sampai ke Jambi, Palembang, dan Bengkulu. Di antara seorang cucunya Mohammad Hatta, proklamator kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Abdurrahman pernah mukim di Tanah Suci tujuh tahun menuntut ilmu agama. Waktu kembali ke Sumbar, beliau berhasil memusnahkan secara drastis khurafat dan tahayul yang jadi prilaku pemimpin adat memberi tahu masyarakat mana yang halal, mana yang haram, larangan berjudi dan menyabung ayam.
Syekh Khatib Mohammad Ali (1861-1936)
Berasal dari Muarolabuh, Solok Selatan, lama menetap di Parakgadang dan Palinggam (Padang). Berdakwah, menegakkan syiar Islam. Beliau disegani dan dihormati, disiplin terhadap peraturan, tidak goyah dengan prinsip. Ulama pendekar silat ini, pernah tujuh tahun memperdalam ilmu agama dengan guru besar Syekh Ahmad Khatib di Makkah, kemudian di Madinah. Beliau penyayang dan pemurah, membantu orang yang butuh pertolongan.
Syekh Mohammad Djamil Djambek (1862-1947)
Lahir di Bukittinggi. Ibu beliau berdarah campuran Betawi-Minangkabau. Ayahnya Mohammad Saleh Datuk Maleko. Djamil pernah menuntut ilmu sihir dan jadi “pareman”, hidup tanpa memperhatikan norma-norma sosial. Pada suatu hari dia kesasar ke surau Angku Kayo di Mandiangin. Angku Kayo memberi kesadaran padanya, sehingga tertarik mengaji ilmu agama dan kehidupan sosial, serta-merta menghentikan kebiasaan mencuri, dan merampok. Beliau ahli falaq terkenal. Walau pernah (tahun 1926) menerima anugerah bintang dari Belanda karena berhasil membungkam pengacau kaum komunis, beliau bergeming dibujuk.
Syekh Abbas Qadh (1285-1370)
Beliau bernama kecil Abbas bin Wahab. Lahir di Ladanglaweh, kaki Gunung Merapi, 4 km Bukittinggi. Guru mengajinya Syekh Angku Mudo di kampung itu dengan sistem duduk (halaqah). Beberapa lama kemudian, Abbas melanjutkan pendidikan ke Makkah.
Beliau pernah jadi Mufti di Bangkok (Thailand) dan disitu pulalah beliau meninggal. Masa hayatnya jadi pembaharu di negeri ini. Model pembaharuannya adalah sekolah dengan sistem bangku pelajaran, tidak dengan sistem halaqah lagi. Beliau marah jika muridnya terlambat masuk kelas. Beliaulah yang mendirikan Perguruan Tarbiyah Islamiyah (Perti), kemudian dikokohkan jadi partai politik oleh puteranya Sirajuddin Abbas. Keluarganya hartawan, sehingga biaya hidup tidak tergantung pada orang lain.
Syekh Sulaiman Ar-Rasuly (1871-1970)
Beliau populer dengan panggilan Inyiak Canduang. Namanya melekat pada nama negeri kelahirannya di Ampekangkek, Kabupaten Agam. Desa di kaki Gunung Merapi ini sekitar 8 km Timur Bukittinggi. Disinilah beliau mendirikan pesantren Tarbiyah Islamiyah yang kemudian tersohor.
Waktu menunaikan ibadah haji di Tanah Suci tahun 1903, dimanfaatkannya mendalami ilmu pada Syekh Ahmad Khatib. Sepulang di tanah air, langkah pertamanya mengadakan perubahan sistem pengajaran agama, dari sistem halaqah ke sistem kelas. Sistem ini kemudian menyeragam di madrasah semua kampung.
Syekh Thaib Umar (1874-1920)
Lahir 08 Syawal 1291 di Sungayang, Batusangkar, ulama pertama berkhotbah Jumat menggunakan bahasa Indonesia. Bersama dengan Syekh Karim Amerullah dan Abdullah Ahmad, berjuang memberantas bid’ah dan khurafat
Akibat diskriminasi bidang pendidikan pemerintah jajahan Belanda, beliau tidak bisa masuk sekolah yang mengajarkan huruf latin, walau sudah menamatkan baca Quran. Ayahnya Umar bin Abdul Kadir membawanya ke Tanah Suci. Disana belajar ilmu agama dan bahasa Arab dengan Syekh Ahmad Khatib. Sepulangnya ke tanah air dalam usia 23 tahun membangun surau sendiri di Tanjung Pauh, Sungayang. Di antara muridnya terdapat ahli pendidikan Islam Prof Mahmud Yunus.
Beliau bercimpung pula di dunia jurnalistik. Sering menulis dalam majalah Al Munir Padang, majalah Islam pertama di Minangkabau terbit tahun 1911. Beliau anggota redaksi bersama Dr Abdul Karim Amerullah. Kepada surau-surau lain dianjurkannya, disamping ilmu pengetahuan agama, juga mempelajari ilmu pengetahuan umum, ashriyah, atau ilmu pengetahuan modern. Beliau mengkritik “urang siak” yang meminta-minta beras ke kampung-kampung. Tahun 1918 dipeloporinya khotbah Jumat, dan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha menggunakan bahasa Indonesia, kecuali rukun khotbah yang harus berbahasa Arab.
Syekh Mohammad Jamil Jao
Lahir tahun 1878, di Jao, sekitar 3 km selatan Kota Padangpanjang. Putera Tuanku Kadhi Tambangan ini, akrab dengan Syekh Sulaiman ar Rasuly, Karim Amarullah, Jamil Jambek, dan Ibrahim Musa Parabek. Beliau 10 tahun menutut ilmu di Makkah. Ulama ahli hukum Islam itu, tahun 1918 pulang dan bersama Sulaimen ar Rasuly mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Pernah jadi Ketua Persatuan Ulama Minangkabau Ittihadl Ulama. Beliau cakap berpidato adat (pasambahan). Beliau pendekar silat bela diri. Di antara puteranya tiga orang jadi wartawan, yakni Bachtiar Jamily (almarhum), Husni, dan Zubaidah.
Syekh Abdullah Ahmad (1878-1953)
Lahir di Padangpanjang, meninggal dalam usia 50 tahun. Dikenal pula sebagai Bapak Jurnalistik Indonesia. Nama beliau tetap abadi sebagaimana halnya dengan warisannya perguruan Adabiah. Beliau melanjutkan cita-cita pamannya Syekh Gapuak, membangun masjid Gantiang, yakni rumah Allah tertua di Padang, dengan bantuan dana para saudagar.
Tokoh pembaharuan dan mantan murid Syehk Ahmad Khatib ini, bersama Abdul Karim Amarullah beroleh gelar kehormatan doktor dari Univewrsitas Al Azhar Kairo, Mesir. Beliau berhasil memberantas khurafat, bid’ah, mistik yang menyusup dalam ajaran Islam. Semuanya bukan didakwahkannya melalui lisan di masjid atau mushalla, tapi juga memanfaatkan pers (suratkabar al Munir terbitan Padangpanjang).
Syekh Abdul Karim Amarullah (1879-1945)
Lahir di Sungai Batang Maninjau. Semula bernama Mohammad Rasul. Nama tersebut ditukar setelah menunaikan ibadah haji tahun 1894. Di Makah selama tujuh tahun, menimba ilmu pada Syehk Ahmad Khatib. Beliau orangtua Buya Hamka, dan mertua mantan Ketua Pucuk Pimpinan Muhammadiyah Abdul Rasjid Sutan Mansyur. Berani membuang hal-hal yang bertentangan dengan Al Quran dan sunnah. Bersama Syekh Abdullah Ahmad memperoleh gelar doktor honoris kausa dari Universitas Al Azhar, Kairo.
Ketika aliran Ahmadiyah dari India masuk Minangkabau, beliau menerbitkan buku Al Qaulul shahih (kata yang sesat) untuk menyerang faham tersebut, mencegah perkembangannya di daerah ini. Sebaliknya membawa Muhammadiyah dari Jawa. Tahun 1930 beliau semarakkan kongres perserikatan ini di Bukittinggi. Beliau tak setapak pun kompromi dengan Pemerintah Belanda. Bila sudah ada di mimbar, sekali-kali jangan disensor pidatonya.
Terang-terangan pula menantang pemerintah Fasis Militer Jepang yang menduduki Indonesia tahun 1942-1945 untuk melakukan sei keire, yakni menundukkan kepala ke arah matahari terbit (Tokyo) tanda memberi hormat kepada Kaisar Hirohito tempat tahta raja Jepang itu.
“Biar saya digantung tinggi-tinggi atau dibuang jauih-jauih, saya tidak mau melakukan,” kata Karim Amarullah tegas.
Syekh Daud Rasyidi (1880-1948)
Lahir di Balingka, Kecamatan IV Koto Agam. Beliau orangtua kandung Mansyur Daud Datuk Palimo Kayo, yang dikatakan sebagai pemegang tongkat estafet terakhir ulama-ulama besar Minangkabau. Inyiak Daud tak ada menempuh pendidikan formal di sekolah mulai tingkat dasar sampai menengah. Pernah jalan kaki dari kampungnya ke Kota Padang, dibekali ketrampilan menjahit, mengaji di beberapa surau Sumatera Barat. Akhirnya pada Syekh Ahmad Khatib di Mekah selama empat tahun, untuk ilmu tasauf, fiqih, tauhid dan bahasa Arab.
Tahun 1903 membuka pengajian di masjid Jembatan Besi Padangpanjang. Masjid ini kemudian menjelma jadi Sumatera Thawalib. Waktu itu penyakit kolera dan cacar mewabah disini. Puluhan korban meninggal setiap hari. Dikubur begitu saja, tanpa dimandikan, dikafani dan disembahyangkan. Kata beliau,
“Umat Islam akan menerima dosa karena tidak melaksanakan fardhu kifayah”. Dengan berani beliau menyuruh bongkar kembali kuburan mayat-mayat tadi. Namun, ditantang Asisten Residen Padangpanjang sebagai penguasa. Tapi akhirnya tuntutan Syekh Daud dikabulkan. Sebelum dikubur kembali, semua diproses menurut ajaran Islam. Beliau menantang membayar pajak (belasting) kepada Pemerintah Belanda.
Syekh Ibrahim Musa (1882-1963)
Lahir 12 Syawal 1301. Setelah menjadi ulama besar, nama kampungnya melekat pada beliau, dan tersohorlah sebagai Inyiak Parabek. Beliau sebelumnya mengaji di beberapa surau di Sumatera Barat, tahun 1320 Hijriah menyambung ke Makkah belajar selama 6,5 tahun pada Syekh Ahmad Kathib. Belum puas, tahun 1333 kembali lagi kesitu untuk memperdalam ilmu.
Waktu perang dunia pertama pecah, beliau kembali ke Parabek Bukittinggi dan singgah lebih dulu di India. Di Parabek bersama dengan murid-murinya membentuk persatuan pelajar Muzakaratul Ikhwan, wadah untuk memperdebatkan berbagai masalah.
Wadah ini kemudian menjelma jadi Sumatera Thawalib School. Pesantren termasyhur ke seantero nusantara. Sistem belajar dari halaqah menjadi sistem klasikal, berkelas-kelas. Disamping ilmu pengetahuan agama, diajarkan pula bahasa Inggris dan bahasa Belanda, ilmu ukur, aljabar, kopersi dan lain-lain. Para guru tidak pakai sarung, disuruh pakai pantalon. jas, dasi dan sepatu. Pemerintah Belanda menawarkan sejumlah uang subsidi, namun Inyiak Parabek menolak mentah-mentah.
Syekh Abbas Abdullah (1883-1957)
Dilahirkan, dibesarkan dan mengabdi di negeri sendiri, Padangjapang (Suliki), Payakumbuh. Nama negeri tersebut melekat pada kepopuleran nama beliau Inyiak Abbas Padang Japang. Ayah beliau Syekh Abdullah pernah terlibat dalam Perang Paderi pimpinan Tuanku Imam Bonjol. Ketika Abbas berusia 13 tahun, ikut paman ke Tanah Suci. Usai menunaikan ibadah haji, Abbas tidak mau pulang, minta tinggal sendirian, lalu belajar dengan Syekh Ahmad Khatib selama delapan tahun. Tahun 1924, sebelum pulang ke tanah air, mengembara ke Mesir, Palestina, Libanon, Siria dan Swis di Eropa. Pulang mengangkut buku-buku besar. Di kampung ditugaskan ayahnya jadi guru bantu Ibtidaiyah dan Tsanawiyah.
Haji Agus Salim (1884-1964)
Lahir 8 Oktober 1884 di Kotogadang, Kecamatan IV Koto, Bukittinggi. Dengan nama yang diberikan ayahnya Masyhudul Haq. Negeri ini penuh melahirkan kaum intelektual. Selain H Agus Salim, banyak lagi pemimpin bangsa asal negeri ini, seperti Perdana Menteri Pertama RI Sutan Sjahrir, Emil Salim, dan lain-lain. Orangtua Inyiak Agus, Sutan Mohammad Salim, seorang Jaksa.
Beliau ulama jenius. Mahasiswa Cornell Uniuversity (Amerika) Harry J Benda waktu beliau memberi kuliah disana langsung mengggelari Grand Old Man, bisa diterjemahkan sebagai Orang Tua Cemerlang. Delapan anak beliau tidak pernah masuk sekolah formal, tapi diajar sendiri di rumah. Seorang di antaranya Kolonel Islam Salim, pernah jadi atase militer Indonesia di Cina.
Mula masuk sekolah di Europesche Lager School (ELS) Kotogadang dan tamat tahun 1898. Terus menyambung ke Hoogere Burger School (HBS) di Jakarta, tapi gagal meneruskan ke STOVIA (School tot Opleiding van Inlandshe). Kegagalan masuk sekolah pamong ini menimbulkan kebenciannya terhadap Pemerintah Belanda. Dendamnya bekerjasama dengan Belanda beliau nyatakan: “Biar makan krekel dari pada menerima tawaran bekerkja dengan Belanda.”
Tapi pada satu kali ibunya memaksa bekerja di konsulat Belanda di Saudi Arabia, maka kesempatan itu dimanfaatkan mendalami agama pada sepupunya Syekh Ahmad Khatib, yang lebih dulu menetap di Masjidil Haram.
Awal kemerdekaan RI beliau memimpin misi ke beberapa negara Timur Tengah. Hasilnya RI memperoleh pengakuan de jure dari negara-negara tersebut. Beliau pernah beberapa kali jadi Menteri Luar Negeri.
Syekh Zainuddin Labay el Yunusy (1890-1924)
Lahir di Lubuk Mata Kucing, Padang panjang, 12 Rajab 1308. Labai, panggilan terhormat bagi seorang yang alim, sedang Yunusy, nama orangtuanya Yunus. dikenal sebagai Tuanku Pandai Sikek, desa asal beliau di kaki gunung Singgalang. Beliau anak sulung pasangan Yunus dan Rafi’ah, sedang adik kedua Rahmah yang kemudian populer dengan nama Sitti Rahmah el Yunusiyah, pendiri sekolah Diniyah Puteri Padangpanjang. Zainuddin mendirikan sekolah Diniyah School tahun 1916 ketika berusia 26 tahun.
Nama sekolahnya kombinasi bahasa Arab dan Belanda, untuk memberi gambaran ide pembaharuan Sistem pendidikannya, gandrung modern. Beliau pun merevolusikan sistem halaqah ke sistem klasikal. Guru tidak pakai sarung lagi. berkopiah tarbusy, dan sandal, tapi pakai pantalon, jas, dasi, dan bersepatu. Beliau pun menolak tawaran uang subsidi Pemerintah Belanda.
Syehk Abdul Hamid Hakim (1893-1959)
Beliau kemudian populer dengan nama Angku Mudo Hamid. Lahir di Sumpu, tepi danau Singkarak tahun 1311 H atau 1893 M. Ikut ayah seorang pedagang ke Kota Padang. Disini ia masuk Sekolah Dasar (SD) dan setamatnya kembali ke kampung belajar tulis-baca Al Quran, lalu melanjutkan dua tahun di Sungayang belajar pada Syekh Mohammad Thaib Umar.
Ketika berusia 16 tahun, belajar ke Maninjau pada Syekh Karim Amarullah. Ketika itu tahun 1910, dengan Syekh Amarullah juga, pindah ke Padang, dimana orangtuanya berdagang di kota ini. Waktu Amarullah pindah lagi ke Padangpanjang, Hamid tetap ikut. Diangkat jadi guru bantu di masjid Jembatan Besi. Sejak itulah beliau dipanggil sebagai Angku Mudo. Ahli fiqih (hukum Islam) ini kemudian diangkat jadi Guru Kepala, mengganti Syekh Abdul Karim Amarullah karena doktor ini pindah ke Jakarta.
Pernah seorang reserse bertanya kepada beliau: “Kenapa murid aktif dalam dunia politik? Entahlah, saya juga heran. Satu saya ajarkan, empat mereka dapat. Saya tak pernah menyuruh mereka aktif dalam politik,” jawab Angku Mudo.
Murid beliau antara lain; Sutan Mansyur, mantan Ketua Pucuk Pimpinan Muhammadiyah, Zainal Abidin Ahmad mantan Wakil Ketua Parlemen, Buya Datuk Palimo Kayo, ulama/sastrawan besar Hamka, Muchtar Yahya, guru besar IAIN Yogya, Ali Hasymi mantan Gubernur Aceh, dan tokoh politik singa betina Rasuna Said.
Syeikhah Rahmah el Yunusyiah (1900-1969)
Lahir 26 Oktober 1900. Beliau adalah adik kandung Zainuddin Labay el Yunusy. Tahun 1915 mendirikan lembaga pendidikan khusus puteri Diniyah Putri. Kiprahnya dalam dunia pendidikan Islam seperti ikut jejak kakaknya. Murid-muridnya datang dari seantero Sumatera Barat. Juga dari provinsi lain, bahkan dari luar negeri, seperti Malaysia, Brunai Darussalam dan Singapura.
Beliau tidak menutup pintu untuk ilmu pengetahuan modern. Disini tidak hanya diajarkan pengetahuan agama, juga keterampilan jahit-menjahit dan masak-memasak, sehingga kelak mereka jadi ibu rumah tangga Islami. Tahun 1955 Rektor Universitas Al Azhar Kairo, pernah mengunjungi Diniyah Puteri. Kunjungan ini dapat balasan. Tahun 1956, Rahmah diundang ke Mesir.
Syekh Zainuddin Hamidy (1907-1957)
Setelah tamat sekolah Governement (Sekolah Dasar lima tahun) di Payakumbuh, melanjutkan pendidikan di Madrasah Darul Funuin Padangjapang, Suliki. Beliau murid terpandai di madrasah tersebut. Tahun 1927 lebih kurang lima tahun melanjutkan ke Mahad Islamy Makkah. Beliau siswa Indonesia pertama disini. Karena pintar, beroleh pula beasiswa.
Tahun 1932, Zainuddin pulang kampung ke Payakumbuh. Dalam usia 25 tahun dikenal sebagai ulama yang menguasai berbagai ilmu. Hafal Al Quran (hafizh), ahli hadist, tafsir, tauhid dan fiqih, sehingga beliau dapat julukan Angku Mudo. Beliau membuka perguruan Mahad Islamy, nama kenangan tempat beliau belajar di Makkah dulu.
Mahad Islamy berkembang dengan pesat. Selain siswanya datang dari berbagai negeri di Sumbar, juga banyak dari Malaysia, dan Riau. Masyarakat ringan memberi bantuan wakaf dan beberapa orang sebagai donatur. Namun, sebaliknya datang hambatan pihak pemerintah jajahan. Cemburu karena sukses. Ada di antara gurunya Johar Arifin dikenakan tidak boleh mengajar. Bila menghadapi masalah yang amat sulit, pendapat Zainuddin Hamidy jadi qaulun fashlun (kata pemutus).
Syekh Nazaruddin Thaha (1908-1979)
Lahir 4 Maret 1908 di Payakumbuh, putera tertua Syekh Thaha Arsyad. Setelah tamat Sekolah Dasar Sambungan, melanjutkan ke Madrasah Sumatra Thawalib Darul Funun Padangjapang. Tahun 1926 masuk perguruan tinggi Darul Ulum dan Universitas al Azhari Kairo, seangkatan Mahmud Yunus, Muchtar Yahya dan lain-lain.
Selama lebih kurang tujuh tahun di Mesir, beliau aktif di Persatuan Pelajar Indonesia-Malaysia (Perpidom), organisasi pergerakan untuk merebut kemerdekaan tanah air. Pulangnya sebagian besar putera-putera Minang tahun 1930-an, membawa angin segar dunia pendidikan di daerah ini.
Tahun 1946, Nazaruddin Thaha ditunjuk pertama kali mengepalai Kantor Agama Sumatera Tengah, meliputi daerah kerja Sumbar, Jambi dan Riau. Beliau membentuk Kantor Urusan Agama (KUA) di daerah-daerah. Pada waktu itu pulalah pengarang buku-buku agama dalam bahasa Arab ini, merancang Undang-undang Perkawinan. Buku-buku tersebut antara lain Abthalul Islam, al Mahfuzadzat, Fanuttarbiyah, dan lain-lain.
Oleh: Marthias Dusky Pandoe
sumber:http://www.facebook.com/?ref=logo#!/notes/minangkabau/risau-siapa-pelanjut-ulama-besar-minangkabau/485735274591
Posting Komentar